PANDUAN PRAKTIK KLINIS TB PARU


1. Pengertian (Definisi) Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya

2. Anamnesis Keluhan Pasien datang dengan batuk berdahak ≥ 2 minggu. Batuk disertai dahak, dapat bercampur darah atau batuk darah. Keluhan dapat disertai sesak napas, nyeri dada atau pleuritic chest pain (bila disertai peradangan pleura), badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari 1 bulan. 

3. Pemeriksaan Fisik Demam (pada umumnya subfebris, walaupun bisa juga tinggi sekali), respirasi meningkat, berat badan menurun (BMI pada umumnya <18,5).  Pada auskultasi terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apex paru, tergantung luas lesi dan kondisi pasien. 

4. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun. 

2. Pemeriksaan bakteriologis kuman yaitu pemeriksaan mikroskopis sputum SP, Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB, Pemeriksaan Biakan Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube).

5. Kriteria Diagnosis Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

1. Alur Diagnosis TB pada Orang Dewasa

Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia:

a. Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat tes cepat molekuler

b. Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan tidak memiliki akses ke tes cepat molekuker.  

Prinsip penegakan diagnosis TB:

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, 

Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.

a. Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB

1) Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM, penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.

2) Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak Sewaktu-Sewaktu atau Sewaktu-Pagi.

3) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+)

4) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.

5) Apabila pemeriksaan secara mikroskopis  hasilnya negatif dan tidak memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:

a) Terbukti ada kontak dengan pasien TB

b) Ada penyakit komorbid: HIV, DM

c) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, dll.

b. Diagnosis TB ekstraparu:

1) Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya

2) Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena.

3) Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan kemungkinan TB Paru.

4) Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB ekstraparu dilakukan dengan contoh uji cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF) pada kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar getah bening melalui pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJAH (Fine Neddle Aspirate Biopsy/FNAB) pada pasien dengan kecurigaan TB kelenjar, dan contoh uji jaringan pada pasien dengan kecurigaan TB jaringan lainnya


c. Diagnosis TB Resisten Obat

Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO juga diawali dengan penemuan pasien terduga TB-RO

1) Terduga TB-RO Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini: 

a. Pasien TB gagal pengobatan Kategori2.

b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan.

c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama 1 bulan.

d. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan pengobatan.

f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1 dan kategori 2.

g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).

h. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di Lapas/Rutan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.

i. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB).


2) Pasien dengan risiko rendah TB RO

Selain 9 kriteria di atas, kasus TB RO dapat juga dijumpai pada kasus TB baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan penegakan diagnosis dengan TCM TB jika fasilitas memungkinkan. Pada kelompok ini, jika hasil pemeriksaan tes cepat memberikan hasil TB RR, maka pemeriksaan TCM TB perlu dilakukan sekali lagi untuk memastikan diagnosisnya.  Diagnosis TB-RO ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberculosis menggunakan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode tes cepat molekuler TB dan metode konvensional. Saat ini metode tes cepat yang dapat digunakan adalah pemeriksaan molecular dengan Tes cepat molekuler TB (TCM) dan Line Probe Assay (LPA). Sedangkan metode konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen (LJ) dan MGIT. 


d. Diagnosis TB Pada Anak

1) Tanda dan gejala klinis

Gejala klinis berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB. Gejala khas TB sebagai berikut:

a) Batuk ≥ 2 minggu

b) Demam ≥ 2 minggu

c) BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya

d) Lesu atau malaise ≥ 2 minggu Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat

6. Diagnosis Kerja Tuberkulosis Paru


7. Diagnosis Banding 1. Pneumonia

2. Abses Paru

3. Kanker Paru

4. Bronkiektasis

5. Pneumonia Aspirasi

8. Penatalaksanaan Prinsip Pengobatan TB:

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:

1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.

2) Diberikan dalam dosis yang tepat.

3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk mencegah kekambuhan.

Tahapan Pengobatan TB:

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan maksud:

1) Tahap Awal:

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.


2) Tahap Lanjutan:

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan yang digunakan adalah;

1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).

2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/ (HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.

3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.

4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.  

Catatan:  Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan.

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 dan 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa pengobatan.

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk pasien yang tidak bisa menggunakan paduan OAT KDT.

Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien untuksatu (1) masa pengobatan.


Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya

Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan. 

Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa


 


Kategori-1:

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis.

c. Pasien TB ekstra paru.

a) Dosis harian (2(HRZE)/4(HR))

Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR))

 

b) Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan (2(HRZE)/4(HR)3)

 

Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1

 

Kategori -2 

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:

a) Pasien kambuh.

b) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya.

c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).


Dosis harian {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}

a. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)} 

 


b. Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}

Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}


 


Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 dan 2 jenis obat dalam satu tablet (2HRZ/4HR 3). Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien

 


Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler) sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial 2 bulan pertama kemudian diikuti oleh Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan. 


 


Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination). Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

 

Keterangan:

R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid

a) Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS

b) Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan berat badan saat itu

c) Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran

d) OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)

e) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).

f) Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan

g) Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari

h) Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

9. Edukasi 1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit tuberkulosis 

2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur. 

3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan

10. Kriteria Rujukan 1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dalam jangka waktu tertentu  

2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan)  

3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu tertentu  

4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid)  

5. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat rujukan TB-MD

11. Prognosis Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis menjadi kurang baik.

12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.






No comments:

Post a Comment