PANDUAN PRAKTIK KLINIS RHINITIS ALERGIKA


1. Pengertian (Definisi) Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen  yang  sama  serta  dilepaskan  suatu  mediator  kimia  ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rinitis alergi adalah kelainan   pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh Ig E.


2. Anamnesis Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung (rinorea), bersin, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias alergi). Bersin merupakan gejala khas, biasanya terjadi berulang, terutama pada pagi hari. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala lain berupa mata gatal dan banyak air mata.


Faktor Risiko

1. Adanya riwayat atopi.

2. Lingkungan  dengan  kelembaban  yang  tinggi  merupakan  faktor risiko  untuk  untuk  tumbuhnya  jamur,  sehingga  dapat  timbul gejala alergis.

3. Terpaparnya  debu  tungau  biasanya  karpet  serta  sprai  tempat tidur, suhu yang tinggi.


3. Pemeriksaan Fisik 1. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena gatal.

2. Wajah:

a. Allergic   shiners   yaitu   dark   circles   di   sekitar   mata   dan berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.

b. Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah  bagian  bawah  hidung  akibat  kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan.

c. Mulut  sering  terbuka  dengan  lengkung  langit-langit  yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid).

3. Faring:  dinding  posterior  faring  tampak  granuler  dan  edema (cobblestone  appearance),  serta  dinding  lateral  faring  menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

4. Rinoskopi anterior:

a. Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide), disertai adanya sekret encer, tipis dan banyak. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis.

b. Pada rinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat terlihat adanya deviasi atau perforasi septum.

c. Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan tumor, atau dapat juga ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat    berupa    edema    atau    hipertropik.    Dengan dekongestan topikal, polip dan hipertrofi konka tidak akan menyusut, sedangkan edema konka akan menyusut.


4. Pemeriksaan Penunjang

Tidak dapat dilakukan di Puskesmas .............

5. Kriteria Diagnosis Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rinitis alergi dibagi berdasarkan sifat berlangsungnya menjadi:

1. Intermiten,  yaitu  bila  gejala  kurang  dari  4  hari/minggu  atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan  untuk  tingkat  berat  ringannya  penyakit,  rinitis  alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal- hal lain yang mengganggu.

2. Sedang  atau  berat,  yaitu  bila  terdapat  satu  atau  lebih  dari gangguan tersebut di atas.


6. Diagnosis Kerja Rhinitis alergika


7. Diagnosis Banding Rinitis vasomotor, Rinitis akut



8. Penatalaksanaan 1. Menghindari alergen spesifik

2. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis

3. Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot hidung. Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazolin atau xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat tersumbat dan dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rinitis medikamentosa.

4. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.

5. Terapi oral sistemik

a. Anti  histamin  generasi  1:  difenhidramin,   klorfeniramin, siproheptadin.

      Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine

b. Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin. Dekongestan         oral:         pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.


9. Edukasi Memberitahu individu dan keluarga untuk:

1. Menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (alergen).

2. Menghindari suhu ekstrim panas maupun ekstrim dingin.

3. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani. Hal ini dapat menurunkan gejala alergi.


10. Kriteria Rujukan 1. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk mengetahui jenis alergen.

2. Bila perlu dilakukan tindakan operatif.

11. Prognosis 1. Ad vitam          : Bonam

2. Ad functionam : Bonam

3. Ad sanationam : Dubia ad bonam


12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.

 


No comments:

Post a Comment