PANDUAN PRAKTIK KLINIS EPISTAKSIS

1. Pengertian (Definisi) Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung yang berasal dari rongga hidung atau nasofaring. 

2. Anamnesis Keluhan 

1. Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung. 

2. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai : 

a. Lokasi keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke tenggorok) 

b. Banyaknya perdarahan 

c. Frekuensi 

d. Lamanya perdarahan 


Faktor Risiko 

1. Trauma 

2. Adanya penyakit di hidung yang mendasari, misalnya: rinosinusitis, rinitis alergi. 

3. Penyakit sistemik, seperti kelainan pembuluh darah, nefritis kronik, demam berdarah dengue.

4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti NSAID, aspirin, warfarin, heparin, tiklodipin, semprot hidung kortikosteroid. 

5. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal, atau nasofaring. 

6. Kelainan kongenital, misalnya: hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease.

7. Adanya deviasi septum.  

8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah, atau lingkungan dengan udara yang sangat kering.

9. Kebiasaan 

3. Pemeriksaan Fisik 1. Rinoskopi anterior 

Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat untuk mengetahui sumber perdarahan. 

2. Rinoskopi posterior 

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang untuk menyingkirkan neoplasma. 

3. Pengukuran tekanan darah 

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis posterior yang hebat dan sering berulang.


4. Pemeriksaan Penunjang Bila diperlukan: 

1. Darah perifer lengkap 

2. Skrining terhadap koagulopati (bleeding time, clotting time) 


5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan.


6. Diagnosis Kerja Epistaksis


7. Diagnosis Banding Hemoptisis, Varises oesofagus yang berdarah, Perdarahan di basis cranii, Karsinoma nasofaring, Angiofibroma hidung.


8. Penatalaksanaan 1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok, pasien bisa berbaring dengan kepala dimiringkan. 

2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter). 

3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku. 

4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang dibasahi ke dalam hidung dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. 

5. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi Vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik dan analgetik. 

6. Untuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior). Teknik pemasangan tampon posterior, yaitu: 

a. Masukkan kateter karet melalui nares anterior dari hidung yang berdarah sampai tampak di orofaring, lalu tarik keluar melalui mulut. 

b. Ikatkan ujung kateter pada 2 buah benang tampon Bellocq, kemudian tarik kembali kateter itu melalui hidung. 

c. Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior dengan bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. 

d. Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. 

e. Lekatkan benang yang terdapat di rongga mulut dan terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2- 3 hari.

f. Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan penghentian perdarahan itu. 

9. Edukasi Memberitahu pasien dan keluarga untuk: 

1. Mengidentifikasi penyebab epistaksis, karena hal ini merupakan gejala suatu penyakit, sehingga dapat mencegah timbulnya kembali epistaksis. 

2. Mengontrol tekanan darah pada penderita dengan hipertensi. 

3. Menghindari membuang lendir melalui hidung terlalu keras. 

4. Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat pada pasien anak. 

5. Membatasi penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen. 


10. Kriteria Rujukan 1. Bila perlu mencari sumber perdarahan dengan modalitas yang tidak tersedia di layanan Tingkat Pertama, misalnya naso-endoskopi. 

2. Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di rongga hidung atau nasofaring. 

3. Epistaksis yang terus berulang atau masif. 

11. Prognosis 1. Ad vitam : Bonam 

2. Ad functionam : Bonam 

3. Ad sanationam : Bonam 

12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



No comments:

Post a Comment