9. Standar 3.10 Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian.
Penyelenggaraan
pelayanan kefarmasian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pelayanan
kefarmasian dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan.
a. Kriteria 3.10.1
Pelayanan
kefarmasian dikelola sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan.
1) Pokok Pikiran:
a)
Pelayanan kefarmasian harus tersedia di Puskesmas. Oleh karena itu, jenis dan
jumlah obat serta bahan medis habis pakai (BMHP) harus tersedia sesuai dengan
kebutuhan pelayanan.
b)
Pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai terdiri atas
(1)
perencanaan kebutuhan;
(2)
permintaan;
(3)
penerimaan;
(4)
penyimpanan;
(5)
pendistribusian;
(6)
pengendalian;
(7)
pencatatan, pelaporan dan pengarsiapan; dan
(8)
pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
c) Pelayanan farmasi di Puskesmas terdiri atas
(1)
pengkajian resep dan penyerahan obat;
(2)
pemberian informasi obat (PIO);
(3)
konseling;
(4)
visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
(5)
rekonsiliasi obat;
(6)
pemantauan terapi obat (PTO); dan
(7)
evaluasi penggunaan obat.
d)
Penarikan obat kedaluwarsa (out of date), rusak, atau obat substitusi dari
peredaran dikelola sesuai dengan kebijakan dan prosedur.
e)
Formularium obat yang merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus
tersedia di Puskesmas perlu disusun sebagai acuan dalam pemberian pelayanan
kepada pasien dengan mengacu pada formularium nasional; pemilihan jenis obat
dilakukan melalui proses kolaboratif antarpemberi asuhan dengan
mempertimbangkan kebutuhan pasien, keamanan, dan efisiensi.
f)
Jika terjadi kehabisan obat karena terlambatnya pengiriman, kurangnya stok
nasional, atau sebab lain yang tidak dapat diantisipasi dalam pengendalian
inventaris yang normal, perlu diatur suatu proses untuk mengingatkan para
dokter/dokter gigi tentang kekurangan obat tersebut dan saran untuk
penggantinya.
g)
Obat yang disediakan harus dapat dijamin keaslian dan keamanannya. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pengelolaan rantai pengadaan obat. Pengelolaan rantai
pengadaan obat adalah suatu rangkaian kegiatan yang meliputi proses perencanaan
dan pemilihan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, dan
penggunaan obat.
h)
Peresepan dilakukan oleh tenaga medis. Dalam pelayanan resep, petugas farmasi
wajib melakukan pengkajian/telaah resep yang meliputi pemenuhan persyaratan
administratif, persyaratan farmaseutik, dan persyaratan klinis sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, antara lain,
(a) ketepatan identitas pasien, obat,
dosis, frekuensi, aturan minum/makan obat, dan waktu pemberian;
(b) duplikasi pengobatan;
(c) potensi alergi atau sensitivitas;
(d) interaksi antara obat dan obat lain
atau dengan makanan;
(e) variasi Kriteria penggunaan;
(f) berat badan pasien dan/atau
informasi fisiologik lainnya; dan
(g) kontra indikasi.
i)
Dalam pemberian obat, harus juga dilakukan kajian benar yang meliputi ketepatan
identitas pasien, ketepatan obat, ketepatan dosis, ketepatan rute pemberian,
dan ketepatan waktu pemberian.
j)
Untuk Puskesmas rawat inap, penggunaan obat oleh pasien/pengobatan sendiri,
baik yang dibawa ke Puskesmas, yang diresepkan, maupun yang dipesan di
Puskesmas, diketahui dan dicatat dalam rekam medis. Harus dilaksanakan
pengawasan penggunaan obat, terutama obat psikotropika sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
k)
Obat yang perlu diwaspadai adalah obat yang mengandung risiko yang meningkat
bila ada salah penggunaan dan dapat menimbulkan kerugian besar pada pasien.
l)
Obat yang perlu diwaspadai (high alert) terdiri atas :
(1)
obat risiko tinggi, yaitu obat yang bila terjadi kesalahan (error) dapat
menimbulkan kematian atau kecacatan, seperti insulin, heparin, atau
kemoterapeutik; dan
(2)
obat yang nama, kemasan, label, penggunaan klinik tampak/kelihatan sama (look
alike), dan bunyi ucapan sama (sound alike), seperti Xanax dan Zantac atau
hydralazine dan hydroxyzine atau disebut juga nama obat rupa ucapan mirip
(NORUM).
m)
Agar obat layak dikonsumsi oleh pasien, kebersihan dan keamanan terhadap obat
yang tersedia harus dilakukan mulai dari pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian, dan penyampaian obat kepada pasien serta penatalaksanaan obat
kedaluwarsa (out of date), rusak, atau obat substitusi.
n)
Puskesmas menetapkan kebijakan dan prosedur dalam penyampaian obat kepada
pasien agar pasien memahami indikasi, dosis, cara penggunaan obat, dan efek
samping yang mungkin terjadi.
o)
Pasien, dokternya, perawat dan petugas kesehatan yang lain bekerja bersama
untuk memantau pasien yang mendapat obat. Tujuan pemantauan adalah untuk
mengevaluasi efek pengobatan terhadap gejala pasien atau penyakitnya dan untuk
mengevaluasi pasien terhadap kejadian efek samping obat.
p)
Berdasarkan pemantauan, dosis, atau jenis obat, bila perlu, dapat disesuaikan
dengan memperhatikan pemberian obat secara rasional. Pemantauan dimaksudkan
untuk mengidentifikasi respons terapeutik yang diantisipasi ataupun reaksi
alergik dan interaksi obat yang tidak diantisipasi serta untuk mencegah risiko
bagi pasien. Memantau efek obat dalam hal ini termasuk mengobservasi dan
mendokumentasikan setiap kejadian salah obat
(medication
error).
q)
Bila terjadi kegawatdaruratan pasien, akses cepat terhadap obat gawat darurat
(emergency) yang tepat adalah sangat penting. Perlu ditetapkan lokasi
penyimpanan obat gawat darurat di tempat pelayanan dan obat gawat darurat yang
harus disuplai ke lokasi tersebut.
r)
Untuk memastikan akses ke obat gawat darurat bilamana diperlukan, disediakan
prosedur untuk mencegah penyalahgunaan, pencurian, atau kehilangan terhadap
obat dimaksud. Prosedur ini memastikan bahwa obat diganti bilamana digunakan,
rusak, atau kedaluwarsa. Keseimbangan antara akses, kesiapan, dan keamanan dari
tempat penyimpanan obat gawat darurat perlu dipenuhi.
s)
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan
obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya
kesalahan pelayanan obat (medication error), seperti obat tidak diberikan,
duplikasi, kesalahan dosis, atau interaksi obat.
t)
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah:
(1)
memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien;
(2)
mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi
dokter; dan
(3)
mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.
u)
Tahap proses rekonsiliasi obat adalah sebagai berikut.
(1)
Pengumpulan data. Tahap ini dilakukan dengan mencatat data dan memverifikasi
obat yang sedang dan akan digunakan pasien yang meliputi nama obat, dosis,
frekuensi, rute, obat mulai diberikan, obat diganti, obat dilanjutkan, obat
dihentikan, riwayat alergi pasien, serta efek samping obat yang pernah terjadi.
Khusus untuk data alergi dan efek samping obat, dicatat tanggal kejadian, obat
yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek yang terjadi,
dan tingkat keparahan. Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari pasien,
keluarga pasien, daftar obat pasien, obat yang ada pada pasien, dan rekam medis
(medication chart). Data obat yang dapat digunakan tidak lebih dari tiga bulan
sebelumnya. Pada semua obat yang digunakan oleh pasien, baik resep maupun obat
bebas termasuk herbal, harus dilakukan proses rekonsiliasi.
(2)
Komparasi. Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang, dan
akan digunakan. Ketidakcocokan (discrepancy) adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokan/perbedaan
di
antara data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada obat yang
hilang, berbeda, ditambahkan, atau diganti tanpa ada penjelasan yang
didokumentasikan pada rekam medis pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat
disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan resep ataupun tidak
disengaja (unintentional) ketika dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat
menuliskan resep.
(3)
Apoteker melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian
dokumentasi. Bila ada ketidaksesuaian, dokter harus dihubungi kurang dari 24
jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh apoteker adalah:
(a)
menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja;
(b)
mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; dan
(c)
memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi obat.
(4)
Komunikasi. Komunikasi dilakukan dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau
perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab
terhadap informasi obat yang diberikan.
2) Elemen Penilaian:
a)
Tersedia daftar formularium obat puskesmas (D).
b)
Dilakukan pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai oleh tenaga
kefarmasian sesuai dengan pedoman dan prosedur yang telah ditetapkan (R, D, O,
W).
c)
Dilakukan rekonsiliasi obat dan pelayanan farmasi klinik oleh tenaga
kefarmasian sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan (R, D, O, W).
d)
Dilakukan kajian resep dan pemberian obat dengan benar pada setiap pelayanan
pemberian obat (R, D, O, W)
e)
Dilakukan edukasi kepada setiap pasien tentang indikasi dan cara penggunaan
obat (R, D, O, W).
f)
Obat gawat darurat tersedia pada unit yang diperlukan dan dapat diakses untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat gawat darurat, lalu dipantau dan diganti tepat
waktu setelah digunakan atau jika kedaluwarsa ( R, D, O, W).
g)
Dilakukan evaluasi dan tindak lanjut terhadap ketersediaan obat dan kesesuaian
peresepan dengan formularium (D, W).
No comments:
Post a Comment