3. Standar 5.3 Sasaran keselamatan pasien.
Sasaran
Keselamatan pasien diterapkan dalam upaya keselamatan pasien.
Puskesmas
mengembangkan dan menerapkan sasaran keselamatan pasien sebagai suatu upaya
untuk meningkatkan mutu pelayanan.
a. Kriteria 5.3.1
Proses
Identifikasi pasien dilakukan dengan benar.
1) Pokok Pikiran:
a)
Salah identifikasi pasien dapat terjadi di Puskesmas pada saat pelayanan
sebagai akibat dari kelalaian petugas, kondisi kesadaran pasien, perpindahan
tempat tidur, atau kondisi lain yang menyebabkan terjadinya salah identitas.
b)
Kebijakan dan prosedur identifikasi pasien perlu disusun, termasuk identifikasi
pasien pada kondisi khusus, misalnya pasien tidak dapat menyebutkan identitas,
penurunan kesadaran, koma, gangguan jiwa, datang tanpa identitas yang jelas,
dan ada dua atau lebih pasien mempunyai nama yang sama atau mirip.
c)
Identifikasi harus dilakukan minimal dengan dua cara identifikasi yang relatif
tidak berubah, yaitu nama lengkap, tanggal lahir, nomor rekam medis, atau nomor
induk kependudukan.
d)
Identifikasi tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien dirawat.
e)
Proses identifikasi dengan benar harus dilakukan mulai dari penapisan atau
skrining, pada saat pendaftaran, serta pada setiap akan dilakukan prosedur
diagnostik, prosedur tindakan, pemberian obat, dan pemberian diet.
2) Elemen Penilaian:
a)
Dilakukan identifikasi pasien sebelum dilakukan prosedur diagnostik, tindakan,
pemberian obat, pemberian imunisasi, dan pemberian diet sesuai dengan kebijakan
dan prosedur yang ditetapkan (R, D, O, W).
b)
Dilakukan prosedur tepat identifikasi apabila dijumpai pasien dengan kondisi
khusus seperti yang disebutkan pada Pokok Pikiran sesuai dengan kebijakan dan
prosedur yang ditetapkan (R, D, O, W).
b. Kriteria 5.3.2
Proses
untuk meningkatkan efektivitas komunikasi dalam pemberian asuhan ditetapkan dan
dilaksanakan.
1) Pokok Pikiran:
a)
Kesalahan pembuatan keputusan klinis, tindakan, dan pengobatan dapat terjadi
akibat komunikasi yang tidak efektif dalam proses asuhan pasien.
b)
Komunikasi yang efektif, tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dapat
dipahami penerima akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan perbaikan
keselamatan pasien.
c)
Komunikasi yang rentan menimbulkan kesalahan, antara lain, terjadi pada saat
(1) pemberian perintah secara verbal, (2) pemberian perintah verbal melalui
telepon, (3) penyampaian hasil kritis pemeriksaan penunjang diagnosis, (4)
serah terima antargiliran (shift), dan (5) pemindahan pasien dari unit yang
satu ke unit yang lain.
d)
Kebijakan dan prosedur komunikasi efektif perlu disusun dan diterapkan dalam
penyampaian pesan verbal, pesan verbal lewat telepon, penyampaian nilai kritis
hasil pemeriksaan penunjang diagnosis, serah terima pasien pada serah terima
jaga atau serah terima dari unit yang satu ke unit yang lain, misalnya untuk
pemeriksaan penunjang dan pemindahan pasien ke unit lain.
e)
Pelaporan kondisi pasien dalam komunikasi verbal atau lewal telepon, antara
lain, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik SBAR (situation, background,
asessment, recommendation). Sedangkan saat menerima instruksi lewat telepon
dapat menggunakan metode readback (write down, read back and confirmation).
f)
Pelaksanaan serah terima pasien dengan teknik SBAR dilakukan dengan
memperhatikan kesempatan untuk bertanya dan memberi penjelasan (readback,
repeat back), menggunakan formulir yang baku, dan berisi informasi kritikal
yang harus disampaikan, antara lain, tentang status/kondisi pasien, pengobatan,
rencana asuhan, tindak lanjut yang harus dilakukan, adanya perubahan
status/kondisi pasien yang signifikan, dan keterbatasan atau risiko yang
mungkin dialami oleh pasien.
g)
Pelaksanaan komunikasi efektif verbal atau lewat telepon saat menerima
instruksi ditulis dengan lengkap (T), dibaca ulang oleh penerima perintah (B),
dan dikonfirmasi kepada pemberi perintah (K), yang dikenal dengan TBAK.
h)
Nilai kritis hasil pemeriksaan penunjang yang berada di luar rentang angka
normal secara mencolok harus ditetapkan dan segera dilaporkan oleh tenaga
kesehatan yang bertanggung jawab dalam pelayanan penunjang kepada dokter
penanggung jawab pasien sesuai dengan ketentuan waktu yang ditetapkan oleh
Puskesmas mengunakan metode readback (write down, read back and confirmation).
i)
Untuk meningkatkan kompetensi dalam melakukan komunikasi efektif, perlu dilakukan
edukasi kepada karyawan. Edukasi dapat dilakukan dalam bentuk pelatihan,
lokakarya, pelatihan kerja (on the job training), atau bentuk lain yang
dianggap efektif untuk transfer kemampuan (skill) dan pengetahuan terhadap
peningkatan kompetensi karyawan dalam melakukan komunikasi efektif.
2) Elemen Penilaian:
a)
Pemberian perintah secara verbal lewat telepon menggunakan teknik SBAR dan TBAK
sesuai dalam Pokok
Pikiran (D, W).
b)
Pelaporan kondisi pasien dan pelaporan nilai kritis hasil pemeriksaan laboratorium
dilakukan sesuai dengan prosedur, yaitu ditulis lengkap, dibaca ulang oleh
penerima pesan, dan dikonfirmasi oleh pemberi pesan, dan dicatat dalam rekam
medis, termasuk identifikasi kepada siapa nilai kritis hasil pemeriksaan
laboratorium dilaporkan (D,W, S).
c)
Dilakukan komunikasi efektif pada proses serah terima pasien yang memuat hal
kritikal dilakukan secara konsisten sesuai dengan prosedur dan metode SBAR
dengan menggunakan formulir yang dibakukan (R, D, W, S).
c.
Kriteria
5.3.3
Proses
untuk meningkatkan keamanan terhadap obat-obat yang perlu diwaspadai ditetapkan
dan dilaksanakan.
1)
Pokok
Pikiran:
a)
Pemberian obat pada pasien perlu dikelola dengan baik dalam upaya keselamatan
pasien. Kesalahan penggunaan obat yang perlu diwaspadai dapat menimbulkan
cedera pada pasien.
b)
Obat yang perlu diwaspadai (high alert medications) adalah obat-obatan yang
memiliki risiko menyebabkan cedera serius pada pasien jika digunakan dengan
tidak tepat. Obat higt alert meliputi :
1) Obat risiko tinggi, yaitu obat dengan
zat aktif yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan bila terjadi kesalahan
(error) dalam penggunaannya (contoh: insulin, heparin atau sitostatika),
2) Obat yang terlihat mirip dan
kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike
Sound Alike/LASA)
3) Elektrolit konsentrat contoh: kalium
klorida dengan konsentrasi sama atau lebih dari 1 mEq/ml, natrium klorida
dengan konsentrasi lebih dari 0,9% dan magnesium sulfat injeksi dengan
konsentrasi sama atau lebih dari 50%.
c)
Kesalahan pemberian obat dapat juga terjadi akibat adanya obat dengan nama dan
rupa obat mirip (look alike sound alike).
d)
Kebijakan dan prosedur tentang pengelolaan obat yang perlu diwaspadai
ditetapkan dan dilaksanakan yang meliputi penyimpanan, penataan, peresepan,
pelabelan, penyiapan, penggunaan, dan evaluasi penggunaan obat yang perlu
diwaspadai, termasuk obat psikotropika, narkotika, dan obat dengan nama atau
rupa mirip.
2)
Elemen Penilaian:
a)
Disusun daftar obat yang perlu diwaspadai dan obat dengan nama atau rupa mirip
serta dilakukan pelabelan dan penataan obat yang perlu diwaspadai
dan
obat dengan nama atau rupa mirip sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang
disusun (R, D, O, W).
b)
Dilakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan obat-obatan
psikotropika/narkotika dan obat-obatan lain yang perlu diwaspadai (high alert)
(D, O, W).
d.
Kriteria
5.3.4
Proses
untuk memastikan tepat pasien, tepat prosedur, dan tepat sisi pada pasien yang
menjalani operasi/tindakan medis ditetapkan dan dilaksanakan.
1)
Pokok
Pikiran:
a)
Terjadinya cedera dan kejadian tidak diharapkan dapat diakibatkan oleh salah
orang, salah prosedur, salah sisi pada pemberian tindakan invasif atau tindakan
pada pasien.
b)
Puskesmas harus menetapkan tindakan operatif, tindakan invasif, dan prosedurnya
yang meliputi semua tindakan yang meliputi sayatan/insisi atau tusukan,
pengambilan jaringan, pencabutan gigi, pemasangan implan, dan tindakan atau
prosedur invasif yang lain yang menjadi kewenangan Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama.
c)
Puskesmas harus mengembangkan suatu sistem untuk memastikan benar pasien, benar
prosedur, dan benar sisi jika melakukan tindakan dengan menerapkan protokol
umum (universal protocol) yang meliputi:
(1)
proses verifikasi sebelum dilakukan tindakan;
Penandaan sisi yang akan dilakukan
tindakan/prosedur;
dan
(2)
time out yang dilakukan segera sebelum prosedur dimulai.
d)
Proses verifikasi sebelum pelaksanaan tindakan bertujuan untuk verifikasi benar
orang, benar prosedur, benar sisi, memastikan semua dokumen, persetujuan
tindakan medis, rekam medis, hasil pemeriksaan penunjang tersedia dan diberi
label, memastikan obat-obatan, cairan intravena, serta jika
ada
ada produk darah yang diperlukan, peralatan medis atau implan tersedia dan siap
digunakan.
e)
Penandaan sisi yang akan mendapat tindakan/prosedur dibuat dengan melibatkan
pasien jika memungkinkan serta dilakukan dengan tanda yang langsung dapat
dikenali dan tidak membingungkan. Tanda harus dilakukan secara seragam dan
konsisten. Penandaan dilakukan pada semua organ yang mempunyai lateralitas
(kanan lawan kiri, seperti salah satu dari dua anggota badan, satu dari
sepasang organ), beberapa struktur (seperti jari, jari kaki, atau lesi), atau
beberapa tingkat (tulang belakang). Untuk tindakan di poli gigi, seperti
pencabutan gigi, penandaannya bila perlu, dilakukan dengan menggunakan hasil
rontgen gigi atau odontogram. Penandaan harus dilakukan oleh operator/orang
yang akan melakukan tindakan dan seluruh prosedur serta tetap bersama pasien
selama prosedur berlangsung.
f)
Penandaan sisi dapat dilakukan kapan saja sebelum prosedur dimulai selama
pasien terlibat secara aktif dalam penandaan sisi dan tanda. Adakalanya pasien
dalam keadaan tidak memungkinkan untuk berpartisipasi, misalnya pada pasien
anak atau ketika pasien tidak berkompeten untuk membuat keputusan tentang
perawatan kesehatan.
g)
Jeda (time out) merupakan peluang untuk menjawab semua pertanyaan yang belum
terjawab atau meluruskan kerancuan. Jeda dilakukan di lokasi tempat prosedur
akan dilakukan, tepat sebelum memulai prosedur, dan melibatkan seluruh tim yang
akan melakukan tindakan operasi atau invasif.
2) Elemen Penilaian:
a)
Dilakukan penandaan sisi operasi/tindakan medis secara konsisten oleh pemberi pelayanan
yang akan melakukan tindakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang
ditetapkan (R, O, W, S).
b)
Dilakukan verifikasi sebelum operasi/tindakan medis untuk memastikan bahwa
prosedur telah dilakukan dengan benar (D, O, W).
c)
Dilakukan penjedaan (time out) sebelum operasi/tindakan medis untuk memastikan
semua pertanyaan sudah terjawab atau meluruskan kerancuan (O, W).
e.
Kriteria
5.3.5
Proses
kebersihan tangan diterapkan untuk menurunkan risiko infeksi yang terkait
dengan pelayanan kesehatan.
1)
Pokok
Pikiran:
a)
Puskesmas harus menerapkan kebersihan tangan yang terbukti menurunkan risiko
infeksi yang terjadi pada fasilitas kesehatan.
b)
Prosedur kebersihan tangan perlu disusun dan disosialisasikan. Informasi
mengenai prosedur tersebut ditempel di tempat yang mudah dibaca. Tenaga medis,
tenaga kesehatan, dan karyawan Puskesmas perlu diedukasi tentang kebersihan
tangan. Sosialisasi kebersihan tangan perlu juga dilakukan kepada pasien dan
keluarga pasien.
c)
Kebersihan tangan merupakan kunci efektif pencegahan dan pengendalian infeksi
sehingga Puskesmas harus menetapkan kebijakan dan prosedur mengenai kebersihan
tangan.
2)
Elemen Penilaian:
a)
Ditetapkan Standar kebersihan tangan
yang mengacu pada Standar WHO
(R).
b)
Dilakukan kebersihan tangan sesuai dengan regulasi yang ditetapkan (D, O, W).
f.
Kriteria
5.3.6
Proses
untuk mengurangi risiko pasien jatuh disusun dan dilaksanakan.
1)
Pokok
Pikiran:
a)
Cedera pada pasien dapat terjadi karena jatuh di fasilitas kesehatan. Risiko
jatuh dapat terjadi pada pasien dengan riwayat jatuh, penggunaan obat, minum
minuman beralkohol, gangguan keseimbangan, gangguan visus, gangguan mental, dan
sebab yang lain.
b)
Penapisan dilakukan sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang disusun untuk
meminimalkan terjadinya risiko jatuh pada pasien rawat jalan dan pengkajian
pasien risiko jatuh pada pasien IGD dan rawat inap di Puskesmas.
c)
Penapisan risiko jatuh dilakukan pada pasien di rawat jalan dengan
mempertimbangkan
(1)
kondisi pasien: contohnya pasien geriatri, dizziness, vertigo, gangguan
keseimbangan, gangguan penglihatan, penggunaan obat, sedasi, status kesadaran
dan/atau kejiwaan, dan konsumsi alkohol;
(2)
diagnosis: contohnya pasien dengan diagnosis penyakit Parkinson;
(3)
situasi: contohnya pasien yang mendapatkan sedasi atau pasien dengan riwayat
tirah baring lama yang akan dipindahkan untuk pemeriksaan penunjang dari
ambulans dan perubahan posisi akan meningkatkan risiko jatuh;
(4)
lokasi: contohnya hasil identifikasi area di Puskesmas yang berisiko terjadi
pasien jatuh, antara lain, lokasi yang dengan kendala penerangan atau mempunyai
penghalang (barrier) yang lain, seperti tempat pelayanan fisioterapi dan
tangga.
d)
Kriteria
untuk melakukan penapisan kemungkinan terjadinya risiko jatuh harus ditetapkan,
baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan, dan dilakukan upaya untuk
mencegah atau meminimalkan kejadian jatuh di fasilitas kesehatan.
e)
Contoh alat untuk melakukan pengkajian pada pasien rawat inap adalah skala
Morse untuk pasien dewasa dan skala Humpty Dumpty untuk anak, sedangkan untuk
pasien rawat jalan dilakukan dengan menggunakan get up and go test atau dengan
menanyakan tiga pertanyaan, yaitu
(1)
apakah pernah jatuh dalam 6 bulan terakhir;
(2)
apakah menggunakan obat yang mengganggu keseimbangan; dan
(3)
apakah jika berdiri dan/atau berjalan membutuhkan bantuan orang lain.
Jika
satu dari pertanyaan tersebut mendapat jawaban ya, pasien tersebut
dikategorikan berisiko jatuh.
2) Elemen Penilaian:
a)
Dilakukan penapisan pasien dengan risiko jatuh jatuh di rawat jalan dan
pengkajian risiko jatuh di IGD dan rawat inap sesuai dengan kebijakan dan
prosedur serta dilakukan upaya untuk mengurangi risiko tersebut (R, O, W, S).
b)
Dilakukan evaluasi dan tindak lanjut untuk mengurangi risiko terhadap situasi
dan lokasi yang diidentifikasi berisiko terjadi pasien jatuh (D, W).
No comments:
Post a Comment